Katanya, kalau Pemilu haram, kenapa hasilnya (yaitu Presiden) jadi
halal ? dan malah, wajib dipatuhi ?. Produk dari yang haram, kok
bisa-bisanya menjadi halal. Sungguh, ini logika pendalilan yang aneh
dari kelompok Salafiy.
Kata saya : Untung keanehan itu
tidak dikatakan ulama. Saya masih bernasib mujur, hanya mendengar
statement keanehan itu dari Anda, bukan dari ulama.
Kalau kata ulama sih,… logika Anda itu keliru dan tidak konek dengan dalil.
Dari Al-‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
وعظنا
رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما بعد صلاة الغداة موعظة بليغة ذرفت منها
العيون ووجلت منها القلوب فقال رجل إن هذه موعظة مودع فماذا تعهد إلينا يا
رسول الله قال أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش
منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك
منكم فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberi
nasihat kepada kami pada suatu hari setelah shalat Shubuh dengan satu
nasihat yang jelas hingga membuat air mata kami bercucuran dan hati kami
bergetar. Seorang laki-laki berkata : ‘Sesungguhnya nasihat ini seperti
nasihat orang yang hendak berpisah. Lalu apa yang hendak engkau
pesankan kepada kami wahai Rasulullah ?’. Beliau bersabda : ‘Aku
nasihatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan
taat walaupun (yang memerintah kalian) seorang budak Habsyiy.
Orang yang hidup di antara kalian (sepeninggalku nanti) akan menjumpai
banyak perselisihan. Waspadailah hal-hal yang baru, karena semua itu
adalah kesesatan. Barangsiapa yang menjumpainya, maka wajib bagi kalian
untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’
Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan
gigi geraham” [Shahih, takhrijnya bisa ditengok di sini].
Perhatikan yang kalimat yang bercetak tebal saja. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah memerintahkan untuk tetap mendengar dan taat meskipun yang
memerintah seorang budak. Padahal sudah diketahui, budak itu tidak boleh
menjadi imam/penguasa, karena syarat menjadi imam adalah merdeka. Namun
seandainya ditakdirkan ada budak yang akhirnya menjadi imam – entah
bagaimana caranya - , kita tetap wajib mendengar, taat, dan berbaiat
kepadanya.
Sama halnya jika ada seseorang yang memberontak
dan menggulingkan kekuasaan dari pemerintahan yang sah, kita tetap
wajib mendengar dan taat, dan memberikan baiat kepadanya. Tidak boleh
kita memberontak ulang kepadanya karena menganggap kekuasaannya tidak
konstitusional. Banyak ulama yang telah menegaskan hal ini, di antaranya
:
Telah berkata Al-Imam Ahmad – rahimahullahu ta’ala –
dalam masalah ‘aqidah yang diriwayatkan oleh ‘Abduus bin Maalik
Al-‘Aththaar :
... ومن غلب عليهم يعني: الولاة – بالسيف حتى
صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن
يبيت ولا يراه إماماً، براً كان أو فاجراً
“…Dan barangsiapa
yang mengalahkan mereka – yaitu pemimpin negara (sebelumnya) – dengan
pedang hingga menjadi khalifah dan digelari Amiirul-Mukminiin, maka
tidak boleh bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir bermalam
dengan masih beranggapan tidak ada imam (untuk dibai’at), baik imam
tersebut seorang yang baik ataupun jahat (faajir)” [Al-Ahkaamus-Sulthaaniyyah oleh Abu Ya’laa (hal. 23), Cet. Al-Faqiy. Silakan lihat ‘aqidah beliau ini secara lebih lengkap dalam Thabaqaat Al-Hanaabilah oleh Ibnu Abi Ya’laa (1/241-246).].
Al-Imam Ahmad berhujjah dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya ia berkata :
... وأصلي وراء من غلب
“Dan aku shalat di belakang orang yang menang (dalam perebutan kekuasaan)”.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat - dengan sanad jayyid – dari Zaid
bin Aslam bahwasannya Ibnu ‘Umar saat jaman fitnah tidak mendatangi
seorang amir melainkan ia shalat di belakangnya, dan mengeluarkan zakat
hartanya kepadanya.
Dan dalam Shahih Al-Bukhaariy, Kitaabul-Ahkaam, Baab Kaifa Yubaayi’ul-Imaaman-Naas (Bagaimana
membaiat Pemimpin/Imam Manusia); dari ‘Abdullah bin Diinaar, ia berkata
: Aku pernah menyaksikan Ibnu ‘Umar saat manusia berkumpul membaiat
‘Abdul-Malik. Ia berkata :
كتب: أني أقر بالسمع والطاعة لعبد الله عبد الملك أمير المؤمنين، على سنة الله وسنة رسوله ما استطعت، وان بني قد أقروا بمثل ذلك
“Ia
berwasiat : Sesungguhnya aku menyatakan akan mendengar dan taat kepada
hamba Allah yang bernama ‘Abdul-Malik, amiirul-mukminiin, berdasarkan
sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya sesuai dengan kesanggupanku. Dan
sesungguhnya anak-anakku juga menyatakan hal yang semisal dengan itu”.
Maksud perkataan ‘Abdullah bin Diinaar : “saat manusia berkumpul membaiat ‘Abdul-Malik”; yaitu Ibnu Marwaan bin Al-Hakam.
Dan yang dimaksud dengan berkumpul (al-ijtimaa’)
adalah berkumpulnya kalimat, karena sebelum itu terjadi perpecahan,
yaitu menjadi dua wilayah kekuasaan. Setiap wilayah mendakwakan diri
sebagai khilafah yang sah. Mereka itu adalah ‘Abdul-Malik bin Marwaan
dan ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhu.
Ibnu
‘Umar pada waktu itu melarang berbaiat kepada Ibnuz-Zubair ataupun
‘Abdul-Malik. Namun ketika ‘Abdul-Malik memenangkan pertempuran dan
memegang kendali kekuasaan, ia (Ibnu ‘Umar) pun berbaiat kepadanya
[Lihat : Al-Fath, 13/194]
Al-Baihaqiy meriwayatkan dalam Manaaqibusy-Syaafi’iy [1/448; Cet. Daarut-Turaats, tahqiq : As-Sayyid Ahmad Shaqr] dari Harmalah, ia berkata :
سمعت الشافعي يقول : كل من غلب على الخلافة بالسيف حتى يسمي خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة
“Aku
mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Setiap orang yang dapat merebut
kekhilafahan dengan pedang, yang kemudian ia digelari dengan khaliifah
(setelah memegang tampuk kepemimpinan), dan manusia bersepakat atasnya,
maka ia adalah khaliifah (yang sah)” [selesai].
Ibnu Hajar rahimahullahu ta’ala telah mengatakan adanya kesepakatan (ijma’) terhadap perkara ini dalam Al-Fath. Ia berkata :
وقد
أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه، وأن طاعته خير
من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء، وتسكين الدهماء
Para fuqahaa’ telah bersepakat
tentang wajibnya taat kepada sulthaan yang menang (saat merebut
kekuasaan) dan berjihad bersamanya. Dan bahwasannya ketaatan kepadanya
lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena hal itu dapat
melindungi darah dan menenangkan rakyat jelata” [Fathul-Baariy, 13/7].
Padahal,….
kita tahu memberontak itu haram hukumnya. Namun jika ditakdirkan ada
orang yang memberontak dan berhasil menggulingkan pemerintahan yang sah,
kita wajib memberikan ketaatan kepadanya. Ini maksud dari perkataan
ulama di atas. Adapun tentang dosa, maka penguasa itu yang akan
mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya, dan kita pun demikian. Jika
penguasa baru itu telah melakukan kemunkaran, kita jangan melakukan
kemunkaran yang serupa. Tapi tetap tunduk pada sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ketaatan kepadanya.
So,….
menurut logika ulama, gak ada yang aneh tuh. Jadi, seandainya ada
pemimpin yang dihasilkan dari proses yang tidak syar’iy, maka kita tetap
harus memberikan ketaatan kepadanya selama ia menegakkan shalat atau
tidak terjatuh pada kufur akbar. Ini adalah untuk menjaga persatuan kaum
muslimin dan menghindari mafsadat yang lebih besar dari adanya
pertumpahan darah dan berbagai kekacauan.
dinukil dari Tulisan Al Ustadz Abul Jauzaa' di facebook Beliau
http://www.facebook.com/notes/donnie-aw/syubhat-klasik/10150956978009008