Minggu, 12 April 2009

Hadist Andalan "Kehalalan Hidup" Kami

Masalah :
Lihat di Hadist Himpunan Kitabul Adillah, halaman 42-43
Pemberitahuan, pada halaman ini hadist ini dipotong, kenapa kalian sembunyi kan sanadnya....? ini kami sampaikan hadist lengkapnya

Hadits La Yahillu... dan Ibn Lahi’ah

ثنا حسن ثنا بن لهيعة قال ثنا عبد الله بن هبيرة عن أبي سالم الجيشاني عن عبد الله بن عمرو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا يحل ان ينكح المرأة بطلاق أخرى ولا يحل لرجل ان يبيع على بيع صاحبه حتى يذره ولا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة الا أمروا عليهم أحدهم ولا يحل لثلاثة نفر يكونون بأرض فلاة يتناجى اثنان دون صاحبهما

رواه أحمد

Menceritakan kepada kami Hasan, menceritakan kepada kami Ibn Lahi’ah, beliau berkata, menceritakan kepada kami Abdullah ibn Hubairah dari Abi Salam al-Jaitsani dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam bersabda : “Tidak halal menikahi seorang perempuan dengan mencerai perempuan yang lain, dan tidak halal bagi seorang laki-laki menjual atas dagangan temannya sehingga temannya meninggalkan dagangan itu, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah padang tidak bertuan, kecuali mereka mengangkat salah satunya jadi amir atas mereka, dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat, yang dua berbisik-bisik meninggalkan temannya (yang satu diacuhkan)”.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad (2/176) no. 6647.

------------------------------------------

Hadits ini dha’if,

Sebab ada perowi bernama Ibnu Lahi’ah, Al-Imam Al-Muhadits Al-Albani dalam Silsilah Al-Hadits Adh-Dhai’fah jilid 2 no. 589 juga mendha’ifkan hadits ini sebab Ibn Lahi’ah.

Berkata Imam Tirmidzi dalam Sunan (1/16) no. 10, setelah meriwayatkan salah satu hadits Ibn Lahi’ah :

وبن لهيعة ضعيف عند أهل الحديث

“…dan Ibn Lahi’ah ini dha’if disisi ahli hadits”.

Imam Ad-Daruquthni dalam Sunan pada no. 250 setelah meriwayatkan hadits Ibn Lahi’ah berkata:

ابن لهيعة لا يحتج بحديثه

“Ibn Lahi’ah tidak boleh berhujah dengan haditsnya”.

Pada no. 251, beliau berkata:

تفرد به ابن لهيعة وهو ضعيف الحديث

“Menyendiri dengan riwayat ini Ibn Lahi’ah dan dia ini haditsnya dha’if”.

Oleh sebab itu Imam Ad-Daruquthni memasukan Ibn Lahi’ah dalam jajaran perawi dha’if sebagaimana dalam kitabnya Adh-Dhu’afa no. 322.

adz-Dzahabi dalam Al-Mizan Juz 3 no. 4530 berkata:

عبدالله بن لهيعة بن عقبة الحضرمي ، أبو عبد الرحمن قاضى مصر وعالمها…. قال ابن معين : ضعيف لا يحتج به

Abdullah ibn Lahi’ah ibn Uqbah Al-Khadrimi, Abu Abdurrahman, Qadhi Mesir dan ulamanya … berkata Ibn Mu’in: “Dha’if tidak boleh berhujah dengannya”.

An-Nawawi, Tahdzib Al-Asma wal Lughoh (1/392) no. 328 berkata,

وقال ابن معين: ابن لهيعة ضعيف الحديث. وقال عمرو بن على الفلاس: احترقت كتب ابن لهيعة، ومن كتب عنه قبل ذلك كابن المبارك والمقرىء أصح ممن كتب بعد ذلك. وقال ابن معين: هو ضعيف قبل الاحتراق وبعده، وضعفه الليث بن سعد، ويحيى بن سعيد، والبخارى، والنسائى، وابن سعد، وآخرون. قال البيهقى: أجمع أصحاب الحديث على ضعف ابن لهيعة، وترك الاحتجاج بما ينفرد به.

Dan berkata Ibn Mu’in : “Ibn Lahi’ah dha’iful hadits”. Dan berkata Amru ibn Ali Al-Falas: Kitab Ibn Lahi’ah terbakar, dan barangsiapa menulis darinya sebelum demikian itu, seperti Ibn Mubarak dan Al-Muqri maka shahih, dan barangsiapa setelah itu (maka dha’if). Dan berkata Ibn Mu’in, “Dia dha’if baik sebelum kitabnya terbakar atau setelahnya. Dan telah mendha’ifkannya Laits ibn Sa’ad, Yahya ibn Sa’id, Bukhari, Nasai, Ibn Sa’ad dan selainnya. Berkata Baihaqi, “Ijma (kesepakatan) ahli hadits atas kedha’ifan Ibn Lahi’ah, dan (mereka) meninggalkan berhujah dengannya dengan apa-apa yang ia menyendiri dengan riwayatnya (tidak ada saksi)”.

Oleh sebagian ahli hadits dia diakui haditsnya ketika ia meriwayatkan dari kitabnya, tetapi setelah kitab-kitabnya terbakar, maka bercampurlah hadits-haditsnya dan ahli hadits berijma –sebagaimana dikatakan Al-Baihaqi- bahwa riwayatnya setelah kejadian itu (yang menyendiri) dha’if.

Ada beberapa orang yang diidentifikasi meriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar, yaitu: Abdullah ibn Mubarak, Abdullah ibn Wahab, Abdullah ibn Muqri dan Qutaibah ibn Said. Maka riwayat orang-orang ini dari Ibn Lahi’ah shahih.

------------------------------

Hadits diatas, menurut sebagian ahli hadits bisa jadi terbolak balik oleh Ibn Lahi’ah dari hadits yang lebih shahih dengan lafazh:

إذا خرج ثلاثة فى سفر فليؤمروا أحدهم

“Bila keluar tiga orang dalam perjalanan, maka hendaklah mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpin”.

Karena mengandalkan hafalannya, Ibnu Lah’iah meriwayatkan hadits ini secara mungkar. Menyelisihi yang lebih terkenal ini yakni dengan lafazh amar (perintah) bukan dengan lafazh : laa yahillu. Dan di waktu safar bukan ditanah yang tidak bertuan seperti diriwayatkannya. Lafazh yang benar ini derajatnya hasan, dikeluarkan dari beberapa jalan, diantaranya adalah:

Dari jalan Abu Said Al-Khudrii radhiyallahu’anhu, yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2608, Abu Ya’la (2/319) no. 1054, Baihaqi (5/257) no. 10131, Abu Awanah (4/514) no. 7538, Thabrani dalam Al-Ausath (7/99) no. 8093 dan lain-lain. Diatas adalah lafazhnya.

Dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dikeluarkan oleh Abu Dawud (3/36) no. 2609, Baihaqi (5/257) no. 10129 dan lain-lain.

Kemudian Imam Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid jilid 5 pada bab yang berjudul:

باب الأمير في السفر

menyebutkan beberapa jalan lain, diantaranya : Pada no. 9305 menyebutkannya dari jalan Umar ibn Khattab radhiyallahu’anhu, Lalu beliau berkata, ‘Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan rijalnya rijal shahih, selain Amar ibn Khalid dan dia tsiqat”. No. 9307, dari Ibn Umar radhiyallahu’anhu, Lalu beliau berkata, ‘Dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan rijalnya rijalnya shahih, selain Abis ibn Marhum dia ini tsiqat”. No. 9308, dari Abdullah (ibn Mas’ud radhiyallahu’anhu). Lalu Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani, rijalnya rijal shahih”.

Biografi Ibn Lahi’ah bisa dilihat di :

Bukhari, Tarikh Al-Kabir (5/Biografi 574), Ash-Shaghir (2/207, 354) dan Dhu’afa Ash-Shaghir (No. 190).

Nasai, Adh-Dhuafa (No. 346).

Ibn Hiban, Al-Majruhin (1/76, 2/12-13).

Al-Aqili, Ad-Dhu’afa (No. 110).

Ibn Adi, Al-Kamil (3/118-120)

Ibn Abi Hatim, Jarh Wa Ta’dil (5/145-148 No. 682).

Al-Mizzi, Tahdzib Al-Kamal (15/487 No. 3513).

Adz-Dzahabi, Mizan Al-I’tidal (Jilid 2 No. 4530).

Ibn Hajar, Tahdzib At-Tahdzib (5/327-331 No. 648).

dan Lain-Lain.

------------------------------------------

Diskusi tentang hadits ini

Hadits ini, andaipun shahih, dibawa kepada amir yang memiliki kekuasaan dan wilayah. Sebagaimana lafazhnya :

بأرض فلاة

…yang berada di tanah (padang) tidak bertuan.

Yaitu keamiran berhubungan dengan ‘bumi’ (tanah) bukan tidak memiliki ‘bumi’ (keamiran bawah tanah).

Lafazhnya yaitu :

ولا يحل

.. dan tidak halal…

Tidak bisa dimaksudkan : ‘tidak halal hidupnya’ atau ‘tidak halal keislamannya’.

Sebabnya jika atsar diatas shahih, bagaimana dengan orang-orang yang hidup dimasa tidak ada imam kaum muslimin ?, seperti dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu’anhu.

فقلت: "فإن لم تكن لهم جماعة ولا إمام؟".

قال: "فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض على أصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك".

Hudzaifah bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya?”.

Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon (‘ashlu syajarah’) hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu".

Bahkan sejak zaman Sahabat seperti yang terjadi pada Ibnu Umar radhiyallahu’anhu berkali-kali ada kekosongan imam karena perselisihan dan lain sebagainya, ketika masa itu Ibn Umar radhiyallahu’anhu dan lainnya tidak membai’at siapapun, dan tidak ada anggapan dari sahabat lain bahwa selama itu hidup mereka tidak halal.

Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Hajar rahimahullahu dalam Fathul Baari (20/242):

وكان عبد الله بن عمر في تلك المدة امتنع ان يبايع لابن الزبير أو لعبد الملك كما كان امتنع ان يبايع لعلي أو معاوية ثم بايع لمعاوية لما اصطلح مع الحسن بن علي واجتمع عليه الناس وبايع لابنه يزيد بعد موت معاوية لاجتماع الناس عليه ثم امتنع من المبايعة لأحد حال الاختلاف الى ان قتل بن الزبير وانتظم الملك كله لعبد الملك فبايع له حينئذ فهذا معنى قوله لما اجتمع الناس على عبد الملك وأخرج يعقوب بن سفيان في تاريخه من طريق سعيد بن حرب العبدي قال بعثوا الى بن عمر لما بويع بن الزبير فمد يده وهي ترعد فقال والله ما كنت لأعطي بيعتي في فرقة ولا امنعها من جماعة

“Dan Abdullah ibnu Umar di masa itu menahan diri untuk berbaiat kepada Ibnu`Zubair ataupun kepada Abdul Malik, sebagaimana (dulu) beliau enggan berbaiat kepada Ali atau Muawiyah, kemudian beliau berbaiat kepada Muawiyah (setelah Ali meninggal) ketika terjadi kesepakatan bersama Hasan bin Ali dan manusia telah mufakat (ijtima’) atas Muawiyah, dan berbaiatlah beliau kepada anaknya yaitu Yazid setelah matinya Muawiyah karena kemufakatan manusia atasnya (Yazid). Kemudian beliau menahan diri dari pembaiatan atas salah seorang (khalifah) ketika terjadi ikhtilaf (perselisihan Ibnu Zubair dengan Marwan, kemudian Marwan meninggal dan digantikan Abdul Malik) sampai terbunuhnya Ibnu Zubair (oleh Abdul Malik), dan para penguasa (gubernur dan tokoh-tokoh) kesemuanya berketetapan (intadzom) kepada Abdul Malik, maka berbaiatlah Ibnu Umar kepada Abdul Malik pada saat itu. Maka inilah makna ucapan “ketika manusia berijtima’ atas Abdul Malik” dan Ya’qub bin Sufyan mentakhrij di dalam tarikhnya dari jalur Said bin Harbin Al Abdiy, dia berkata : “Mereka mengirim utusan kepada Ibnu Umar ketika Ibnu Zubair dibaiat, maka Ibnu Umar mengulurkan dan menggoyangkan tangannya, lalu berkata : “Demi Allah, aku tidak memberikan baiatku di dalam firqoh (perpecahan), dan aku tidak menahan bai’atku dari jamaah (persatuan)….”

Beliau hanya membai’at dan mengakui siapa yang berkuasa dan menang (diantara mereka yang berselisih).

Demikian kalau hadits itu shahih, kenyataannya tidak!!!


di ambil dari
blog al akh rikrik
rumahku-indah.blogspot.com