Minggu, 26 April 2009

Adakah Cerita Ini Berkaitan Dengan Infak Persenan II?

Cerita Tsa'labah Bin Hathib Al-Anshariy

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ada sebuah hadits yang berbunyi:

“Artinya : Celaka engkau wahai Tsa’labah! Sedikit yang engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya. Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung-gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku”

TAKHRIJ HADITS.
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Ibnu Jarir dalam Jami’ul Bayaan (VI/425 no. 17002), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (VIII/218-219, no. 7873), ad-Dailamy, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (XI/208) dan al-Wahidi dalam Asbaabun Nuzul (hal. 257-259).

Semuanya telah meriwayatkannya dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah as Salamy dari Ali bin Yazid dari al-Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah al-Baahiliy, ia berkata: “Bahwasanya Tsa’labah bin Hathib al-Anshary datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata: “Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar aku dikarunia harta.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: (Ia pun menyebutkan lafazh hadits di atas).

Lanjutan hadits ini adalah sebagai berikut:
Kemudian ia (Tsa’labah) berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau memohon kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya (zakat/sedekah) kepada yang berhak menerimanya.”

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a: “Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah.”

Kemudian ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambing itu tumbuh beranak, sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya.

Sesudah itu, ia menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah (desa). Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat Zhuhur dan Ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’at pun ia tinggalkan.

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para Shahabat: “Apa yang dilakukan Tsa’labah?”

Mereka menjawab: “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya,…”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya bersabda: “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua.”

Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan serta merta Tsa’labah berkata: “Apakah yang kalian minta dari saya ini, pajak atau sebangsa pajak? Aku tidak tahu apa sebenarnya yang kalian minta ini!”

Lalu keduanya pulang dan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihat kedua-nya (pulang tidak membawa hasil), sebelum mereka berbicara, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celaka engkau, wahai Tsa’labah! Lalu turun ayat:

“Artinya : Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah: ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih.’ Maka, setelah Allah mem-berikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” [At-Taubah: 75-76]

Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mohon agar diterima zakatnya.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menjawab: “Allah telah melarangku menerima zakatmu.” Hingga Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikit pun dari zakatnya.

Dan Abu Bakar, ‘Umar, serta ‘Utsman pun tidak menerima zakatnya di masa khilafah mereka.

Keterangan: HADITS INI LEMAH SEKALI
Lihat Dha’if Jami’ush Shaghiir (no. 4112).

Karena dalam sanad hadits ini ada dua orang perawi yang lemah:
[1]. Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik, seorang rawi yang sangat lemah.
Imam al-Bukhari dalam kitabnya berkata: “Ali bin Yazid, Abu ‘Abdil Malik al-Hany ad-Dimasyqy adalah seorang perawi yang Munkarul Hadits.”
Imam an-Nasa-i berkata: “Ia meriwayatkan dari Qasim bin ‘Abdirrahman, ia Matrukul Hadits.” [Lihat adh-Dhu’afaa’ wal Matrukiin (no. 455).]
Imam ad-Daraquthny berkata: “Ia seorang matruk (yang ditingggalkan haditsnya dan tertuduh dusta).”
Imam Abu Zur’ah berkata: “Ia bukan orang yang kuat.”
Imam al-Haitsamy berkata: “ ‘Ali bin Yazid adalah seorang matruk.”
[Periksa: Mizaanul I’tidal (III/161, no. 5966), Taqriibut Tahdziib (II/705, no. 4933), al-Jarh wat Ta’dil (VI/208), Lisanul Mizan (VII/ 314), Majmu’uz Zawaaid (VII/31-32)]

[2]. Mu’aan bin Rifaa’ah as-Salamy, seorang perawi yang dha’if (lemah).
Ibnu Hajar berkata: “Ia adalah seorang rawi yang lemah dan ia sering memursalkan hadits.” [Periksa: Taqriibut Tahdziib (II/194, no. 6771)]
Kata Imam adz-Dzahabi: “Ia tidak kuat haditsnya.” [Periksa: Mizaanul I’tidal (IV/134)]
Ibnu Jarir juga meriwayatkan dari Hammad, ia berkata: “Salamah dari Ibnu Ishaq dari ‘Amr bin ‘Ubaid dari al-Hasan: ‘Bahwa yang dimaksud ayat itu (9: 75) adalah Tsa’labah bin Haathib Mu’aththib bin Qusyair keduanya dari bani ‘Amr bin ‘Auf.’” [Periksa: Jami’ul Bayaan fii Ta’-wiilil Qur-aan (IV/ 427, no. 17005)]

Adapun kelemahannya adalah:
[1]. Mursal Hasan al-Bashry, ia seorang tabi’in.
[2]. ‘Amr bin ‘Ubaid Abu ‘Utsman al-Bashri al-Mu’tazili.
Kata Ibnu Ma’in: “Tidak boleh ditulis haditsnya.”
Kata Imam an-Nasaa-i: “Matruk, tidak kuat, tidak boleh ditulis haditsnya.”
Kata Imam al-Fallas: “ ‘Amr ditinggalkan haditsnya dan dia adalah ahli bid’ah.”
Kata Abu Hatim: “Matrukul Hadits.”
[Lihat Mizaanul I’tidal (III/273-280) dan Tahdzibut Tahdzib (VIII/62-63)]

PARA ULAMA YANG MELEMAHKAN HADITS-HADITS INI
Di Antaranya ialah:
[1]. Imam Ibnu Hazm, ia berkata: “Riwayat ini bathil.” [l-Muhalla (XI/207-208).]
[2]. Al-hafizh al-’Iraqy berkata: “Riwayat ini dha’if.” [Lihat Takrij Ahaadits Ihya’ Ulumuddin (III/287).]
[3]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata: “Riwayat tersebut dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah.” [Lihat Fat-hul Baari (III/266)]
[4]. Ibnu Hamzah menukil perkataan Baihaqi: “(Riwayat ini) dha’if.” [Lihat al-Bayan wat Ta’rif (III/66-67)]
[5]. Al-Munawi berkata: “(Riwayat ini) dha’if.” [Lihat Fai-dhul Qadir (IV/527).]
[6]. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata: “Hadits ini dha’ifun jiddan.” [Lihat Silsilatul Ahaadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (IX/78 no. 4081)]

RIWAYAT YANG BENAR
Tsa’labah bin Haathib adalah seorang Sahabat yang ikut dalam perang Badar sebagaimana disebutkan oleh:
[1]. Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqaat (III/36).
[2]. Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab al-Istii’ab (hal. 122).
[3]. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany di dalam kitab al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (I/198). Beliau ber-kata: “Tsa’labah bin Hathib adalah Shahabat yang ikut (hadir) dalam perang Badar.

Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahli Badar:

“Artinya : Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.” [HR. Ahmad (III/396), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 2160)]

[4]. Kata Imam al-Qurthuby (wafat th. 671 H): “Tsa’labah adalah badry (orang yang ikut perang Badar), Anshary, Shahabat yang Allah dan Rasul-Nya saksikan tentang keimanannya seperti yang akan datang penjelasannya di awal surat al-Mumtahanah, adapun yang diriwayatkan tentang dia (tidak bayar zakat) adalah riwayat yang TIDAK SHAHIH. [Tafsir al-Qurthuby (VIII/133), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah]

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HIKAYAT TSA'LABAH YANG TIDAK BENAR DI ATAS
Sesudah kita mengetahui kelemahan riwayat tersebut, maka tidak halal bagi seorang muslim pun untuk mem-bawakan riwayat Tsa’labah sebagai permisalan kebakhilan, karena bila kita bawakan riwayat itu berarti:

Pertama : Kita berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua : Kita menuduh seorang Shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang buruk.
Ketiga : Kita telah berdusta kepada orang yang kita sampaikan cerita tersebut kepadanya.

Ingat, kita tidak boleh sekali-kali mencela, memaki atau menuduh dengan tuduhan yang jelek kepada para Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Barangsiapa mencela Shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, Malaikat dan seluruh manusia.” [ HR. Ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu’jamul Kabir (XII/110, no. 12709) dan hadits ini telah di-hasan-kan oleh Imam al-Albany dalam Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 2340), Shahih al-Jaami’ush Shaghir (hal. 2685)]

Wallaahu a’lam bish Shawaab.

[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
_________
MARAAJI’
[1]. Tsa’labah bin Haathib ash-Shahaby al-Muftara’ ‘alaihi, oleh ‘Adab Mahmud al-Humasy, cet. Daarul Amaani, Riyadh, th. 1407 H.
[2]. Asy-Syihaab ats-Tsaqiib fidz Dzabbi ‘anish Shahabil Jalil Tsa’labah bin Haathib, oleh Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly, Daarul Hijrah, cet. II, th. 1410 H.
[3]. Mizaanul I’tidal fii Naqdir Rijal, oleh Imam adz-Dzahaby, tahqiq: ‘Ali Muhammad al-Bijaawy, cet. Daarul Fikr.
[4]. Majmu’-uz Zawaa-id wa Mamba-ul Fawaa-id, oleh Imam al-Haitsamy.
[5]. Al-Muhalla, oleh Ibnu Hazm.
[6]. Tafsir ath-Thabary, oleh Imam ath-Thabary, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[7]. Tafsir al-Qurthuby, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby.
[8]. Taqriibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqa-lany, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[9]. Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy, cet. Daarul Fikr.
[10]. Al-Mu’jamul Kabir, oleh Imam ath-Thabary, tahqiq: Hamdi Abdul Majid as-Salafy.
[11]. Adh-Dhu’afa’ wal Matrukin, oleh Imam an-Nasa-i, cet. Daarul Fikr.
[12]. Fai-dhul Qadir, oleh al-Munawy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[13]. Fat-hul Baari, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, cet. Daarul Fikr.
[14]. Al-Ishaabah fii Tamyizish Shahabah, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar ‘al-‘Asqalany.
[15]. Al-Istii’ab bi Ma’rifatil Ash-haab, oleh al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr (bihaamisy al-Ishaabah.)
[16]. Lisaanul Miizan, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[17]. Ihya’ ‘Ulumuddin, oleh Imam al-Ghazaly, (bi Haamisyihi takhrij lil-Hafizh al-‘Iraaqy.), cet. Daarul Fikr, th. 1418.
[18]. At-Tashfiyyah wat Tarbiyyah wa Aatsaariha fisti’naafil Hayaatil Islaamiyyah, oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Atsary.
[19]. Asbaabun Nuzul, oleh Imam Abul Hasan ‘Ali bin Ahmad al-Wahidy, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[20]. Tahdziibut Tahdziib, oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalany.
[21]. Silsilatul Ahaadits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.
[22]. Shahih al-Jaami’-ush Shaghir, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany.


http://www.almanhaj.or.id/content/2262/slash/0